
Pengalaman Relawan Perempuan Gempa Cianjur: Walau Tidak Mudah, Tapi Kita Harus Terus Berjuang!
Oleh: Ade Anisintya Subekti, Staff Administrasi Purchasing, PT Pasir Tengah
Sebuah kota kecil di Jawa Barat yang terkenal akan berasnya yang berkualitas – Cianjur, tak disangka menghadapi guncangan gempa bumi yang meluluhlantakan sebagian area di kabupaten tersebut. Gempa pada 21 November 2022 dengan kekuatan 5,6 magnitudo ‘mengguncang’ Cianjur dan menghancurkan banyak pemukiman penduduk serta fasilitas publik. Data terakhir dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukan bahwa hingga 29 November 2022, korban gempa Cianjur telah mencapai 327 orang. Masyarakat terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman, dan masih banyak dari penduduk yang bertahan di tenda-tenda pengungsian. Hal tersebut wajar karena paska gempa pertama terjadi, beberapa kali wilayah Cianjur masih diguncang gempa susulan dengan skala yang lebih rendah.
Sehari paska gempa, saya bersama beberapa orang mengunjungi area terdampak gempa bumi di Kampung Nanggeleng, Desa Nagrak untuk memberikan donasi yang dikumpulkan mandiri. Yang saya rasakan ketika itu adalah, jalanan begitu padat, sirene ambulan ‘meraung’ tak henti-hentinya, hingga mobil-mobil pasokan bahan makanan mulai memasuki kota yang menyebabkan jalanan begitu padat merayap. Sampai di lokasi terdampak gempa, saya pun sangat sedih melihat kondisinya. Sebagai orang asli Cianjur, saya ingin berbuat sesuatu untuk membantu mereka, sekaligus sebagai rasa syukur karena saya, keluarga, dan rumah yang saya tinggali tidak terdampak gempa.
Selang beberapa hari kemudian, saya mendapatkan informasi bahwa perusahaan di mana saya bekerja yaitu PT Pasir Tengah membuka pendaftaran untuk menjadi relawan gempa Cianjur. Perusahaan berkolaborasi dengan Yayasan Dompet Dhuafa untuk membantu para korban terdampak gempa, di mana Perusahaan mendonasikan pasokan bahan makanan bergizi siap saji bagi para korban. Mengingat saya tidak memiliki skill pertolongan pertama (PP) ataupun tanggap bencana (rescue), saya mengajukan diri menjadi relawan di dapur umum. Setidaknya, saya dapat membantu mereka dengan mempersiapkan makanan yang sehat dan bergizi untuk menjalani hari-hari yang tidak mudah seperti saat ini.
Sabtu, 26 November 2022 saya bersama tim relawan PT Pasir Tengah berangkat ke posko pengungsian pagi-pagi buta. Kami semua mampir di posko induk Dompet Dhuafa untuk mendapatkan pengawalan dan arahan dari tim terkait, mengingat medan yang akan kami lalui tentunya tidak mudah. Benar saja dugaan saya, sepeda motor pun sangat sulit untuk menanjak, sehingga sebagian meninggalkan sepeda motor dan melanjutkan berjalan kaki untuk menuju Pos Pengungsian di Cijedil.
Di Pos Pengungsian Cijedil, seumur hidup saya baru menyaksikan orang-orang dan anak-anak tidur bersanding dengan makam. Bahkan ada anak-anak yang tidur tepat di sebelah makam, dan saya melihat beberapa makam yang masih baru, dan mungkin itu adalah makam para korban gempa yang meninggal dunia. Di pos ini, sesuai arahan dari tim Dompet Dhuafa, kami tidak terlalu lama dan kami dibawa ke Pos Pengungsian di Kampung Awilarangan Desa Benjot Kecamatan Cugenang, tepatnya di Pondok Pesantren Al Humaediyyah, karena tidak ada relawan di sana.
Selama di Posko Pengungsian, tugas utama yang saya lakukan banyak berfokus di dapur umum. Bersama tim, kita mempersiapkan, mengolah, memasak bahan makanan, hingga membagikan bahan makanan ke para pengungsi. Sore harinya, kami harus melakukan penghitungan pasokan bahan makanan untuk memastikan kecukupan logisitik, dan menginformasikan ke tim terkait untuk dikirimkan bahan makanan sesuai porsi yang dibutuhkan.
Kelihatannya sepele ‘hanya’ menyiapkan makanan. Nyatanya tidak mudah memasak di dapur umum di area pengungsian. Alat masak yang terbatas misalnya, membuat proses memasak menjadi lebih panjang, dan tenaga yang dikeluarkan pun juga menjadi lebih banyak. Selain itu, kondisi di tenda yang panas, serta jumlah makanan yang harus disediakan membuat kami berpacu dengan waktu.
Di pos pengungsian Kampung Awilarangan, Desa Benjot Kecamatan Cugenang, terdapat kurang lebih 200 orang yang mengungsi. Banyak dari mereka yang merupakan lansia, anak-anak, dan balita. Mereka harus berjejal bersama di tenda pengungsian hingga waktu yang belum ditentukan. Tentu kondisi tersebut tidaklah mudah bagi mereka, terutama ketika hujan, di mana air sering merembes ke dalam tenda, termasuk tenda dapur umum. Kami tim relawan pun bekerja bagaikan dalam kisah ‘roro jonggrang’ yang membereskan dan memastikan semua logistik aman dalam waktu singkat, atau air hujan akan merendam dan membasahi semua persediaan logisitik, tentu kami tidak ingin hal tersebut terjadi.
Sebagai seorang perempuan yang menjadi relawan, tentu ada rasa khawatir atau insecure ketika bekerja membantu mereka, misalnya saja ketika mau bersuci di kamar mandi darurat tanpa atap. Selain itu, beberapa kali guncangan gempa susulan juga membuat saya sedikit trauma. Overthinking tentu ada, namun saya mencoba untuk tenang, agar saya pun dapat menenangkan para pengungsi korban gempa tersebut.
Saya dan tim mendapatkan sistem shift dengan relawan yang lain, sehingga tidak setiap hari datang ke posko pengungsian. Dari menjadi seorang relawan dalam waktu yang singkat, saya mendapatkan sebuah pembelajaran berharga yaitu, ‘Dalam kondisi sesulit apapun kita harus terus berjuang. Berjuang dari diri sendiri dan mulailah dari hal yang kecil, karena hal kecil tersebut mungkin akan sangat bermakna dan bermanfaat bagi orang lain!’ Mungkin saya memang bukan dokter untuk para korban, atau menjadi tim rescue untuk menolong mereka yang membutuhkan, namun saya berusaha untuk bisa berkontribusi dan memastikan mereka dapat terus melanjutkan asa dengan menyedikan makanan bergizi siap santap saat saya bertugas.
Duka mereka, adalah duka kita. Doa kami teriring bagi para korban, semoga Allah SWT – Tuhan Yang Maha Esa memberikan kita semua perlindungan dan kekuatan. Aamiin.
===Selesai===